Senin, 18 Juni 2012

Menurut Sejarah Perencanaan Kota di Indonesia


Sejarah perencanaan kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendudukan kolonial Belanda yang berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, kota-kota di Nusantara tidak memiliki basis perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah “kota” pada masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan menjadikan sedikit sekali yang diketahui tentang perencanaan kota pra-kolonial.
Perencanaan sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah muncul. Dalam konteks perencanaan kota saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap Roh atau Kekuatan Alam menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Meskipun dapat ditelusuri bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat dengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hirarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.
Dalam hal tersebut, perencanaan kota di Indonesia tidak diawali dari sesuatu yang disebut “masalah perkotaan”. Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya penyeimbangan antara kekuatan roh, alam, dan hubungan antarmanusia. Praktik seperti ini masih sangat kental untuk warga kota di Bali, meskipun diterapkan semakin terbatas karena pengaruh kapitalisme ruang yang tidak dapat dibendung.
Pada pengetahuan lokal tersebut, ruang diatur dengan pusat sentral di tengah-tengah kota. Ada elemen-elemen umum yang berada di pusat, seperti tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat adalah rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa.
Evers dan Korff (2000) menyebut adanya tiga tipe dari kota-kota di Asia Tenggara. Pertama adalah kota di pedalaman yang merupakan pusat pengaruh dari wilayah pinggiran yang tunduk karena kekuatan Ilahi dari penguasa yang berkediaman. Kedua, kota di pesisir yang berorientasi kepada perdagangan yang lebih terbuka dari berbagai tempat. Ketiga, adalah kota-kota kecil yang menjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan kota-kota suci. Dalam bentuk yang paling awal, kota yang pertama muncul lebh banyak, sebelum perdagangan dengan daerah-daerah di seberang lautan semakin intensif, seperti kota-kota Islam awal. Ketika penjelajahan samudera oleh orang Eropa semakin sering dilakukan, maka kota-kota di pesisir (kota dagang) menjadi sasaran empuk bagi penguasaan ekonomi global. Hal ini perlahan-lahan mengurangi pengaruh kekuatan kota-kota di pedalaman (kota suci) yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh politik. Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, sehingga tidak ada cara-cara sistematis untuk mencegah hal tersebut. Perencanaan kota pada kota-kota Nusantara pada tahal awal ini kurang mampu mengatasi peran strategis yang harus dimiliki sebuah kota.
sumber: http://gedebudi.wordpress.com/2008/07/14/merunut-sejarah-perencanaan-kota-di-indonesia/

0 komentar:

Posting Komentar

 
;